secretgardencafe.net

Presiden FIFA Gianni Infantino Dituding Tindas Pemain

Presiden FIFA Dituding sebagai Autokrat Penindas Para Pemain

Dunia sepak bola kini berada di bawah bayang-bayang sebuah konflik yang semakin meruncing. Bukan antara dua klub rival di lapangan, melainkan antara para pemain dengan institusi tertinggi yang menaungi mereka. Di pusat badai ini, berdiri satu figur yang menjadi sasaran utama dari segala kritik dan kemarahan: Presiden FIFA, Gianni Infantino. Gelaran Piala Dunia Antarklub 2025 dengan format 32 tim yang baru saja usai di Amerika Serikat, alih-alih menjadi pesta, justru menjadi puncak dari kekecewaan banyak pihak.

Serikat pemain profesional global (FIFPRO) dan berbagai liga top Eropa secara terbuka melontarkan tudingan yang sangat serius. Mereka mencap Infantino sebagai seorang “autokrat” yang memaksakan kehendaknya secara sepihak dan seorang “penindas” yang mengabaikan kesehatan fisik serta mental para pemain demi satu tujuan: keuntungan finansial. Tuduhan ini bukanlah sekadar serangan personal, melainkan sebuah teriakan frustrasi terhadap turnamen sepak bola yang semakin tidak manusiawi.

 

Gianni Infantino: Dari Birokrat UEFA Menjadi Orang Nomor Satu FIFA

Untuk memahami konflik ini, kita perlu mengenal siapa Gianni Infantino. Lahir di Swiss pada 23 Maret 1970, ia adalah seorang pengacara yang fasih berbicara dalam banyak bahasa. Kariernya di dunia sepak bola dimulai di UEFA, di konfederasi sepak bola Eropa, di mana ia naik pangkat secara stabil hingga menjadi Sekretaris Jenderal. Di UEFA, ia dikenal sebagai sosok di balik beberapa inovasi penting, termasuk ekspansi Piala Eropa (Euro) menjadi 24 tim dan konsep Financial Fair Play (FFP).

Sepak terjangnya mencapai puncak saat ia terpilih menjadi Presiden FIFA pada tahun 2016, menggantikan Sepp Blatter yang tersandung skandal korupsi. Sejak awal, visinya adalah “mengglobalkan” sepak bola dan meningkatkan pendapatan FIFA. Proyek-proyek ambisius yang menjadi ciri khasnya adalah ekspansi Piala Dunia antarnegara menjadi 48 tim (mulai 2026) dan, yang terbaru, merombak total Piala Dunia Antarklub menjadi turnamen raksasa setiap empat tahun.

 

Piala Dunia Antarklub 2025: Puncak ‘Keserakahan’ FIFA?

Pemicu utama dari kemarahan para pemain dan liga adalah gelaran Piala Dunia Antarklub 2025. Turnamen ini memaksa para pemain top, yang baru saja menyelesaikan musim domestik dan Eropa yang sangat panjang (beberapa bahkan baru selesai bermain di Euro 2024 sebulan sebelumnya), untuk langsung terbang ke AS dan berkompetisi dalam turnamen berintensitas tinggi selama sebulan penuh.

FIFPRO, serikat pemain, telah melayangkan gugatan hukum terhadap FIFA. Mereka berargumen bahwa keputusan sepihak FIFA ini melanggar hak fundamental para pemain untuk mendapatkan periode istirahat tahunan yang layak. “Para pemain dipaksa untuk terus bermain hingga titik batas kemampuan mereka, meningkatkan risiko cedera dan burnout secara drastis,” ujar seorang perwakilan FIFPRO. Agenda bermain yang “meledak” ini dianggap sebagai bukti bahwa FIFA tidak lagi memedulikan aset utamanya—yaitu para pemain—dan hanya melihat mereka sebagai mesin penghasil uang.

 

Pembelaan Gianni Infantino: Demi Sepak Bola Global

Menghadapi gelombang kritik, Gianni Infantino tetap bergeming. Ia membela keputusannya dengan dua argumen utama. Pertama, ia mengklaim turnamen ini adalah “demi kebaikan sepak bola global”. Dengan format 32 tim, lebih banyak klub dari luar Eropa mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi di panggung dunia, yang menurutnya akan membantu pertumbuhan sepak bola di Asia, Afrika, dan Amerika.

Kedua, ia secara terang-terangan menyoroti kesuksesan finansial. “Kami menghasilkan pendapatan lebih dari 2 miliar dolar AS (sekitar Rp32,4 triliun) dari turnamen ini. Dana ini akan kami distribusikan kembali ke 211 asosiasi anggota kami di seluruh dunia untuk membangun lapangan dan mengembangkan sepak bola hingga ke segala penjuru bumi,” ujar Infantino dalam konferensi pers penutup turnamen. Baginya, kritik yang datang hanyalah karena turnamen ini “baru dan terlalu spesial”.

Meskipun turnamen ini menghasilkan pendapatan besar, ia juga tidak lepas dari masalah. Seperti yang terlihat, euforia pesta gol di beberapa pertandingan Piala Dunia Antarklub ternyata tidak selalu diimbangi dengan stadion yang penuh sesak, terutama di laga-laga awal, yang juga menjadi sasaran kritikdari para pemain dan penikmat sepak bola.

 

Perang Dingin dengan Liga Eropa

Tindakan Infantino ini juga dilihat sebagai sebuah “perang dingin” melawan liga-liga top Eropa dan UEFA. Dengan menciptakan turnamen klub yang begitu besar dan bergengsi, FIFA secara langsung menantang supremasi Liga Champions UEFA sebagai kompetisi klub termewah di dunia. Ini adalah perebutan pengaruh, agenda, dan tentu saja, pendapatan.

Liga-liga seperti LaLiga dan Premier League merasa FIFA telah “mencuri” waktu istirahat para pemain yang mereka bayar mahal sepanjang tahun, tanpa memberikan kompensasi yang sepadan dan tanpa melalui dialog yang konstruktif. Konflik antara FIFA dan liga-liga Eropa ini telah menjadi sorotan utama. Analisis mendalam dari berbagai media menyoroti bagaimana perebutan ini pada dasarnya adalah perebutan kekuasaan dan pendapatan miliaran dolar yang akan menentukan arah sepak bola untuk dekade berikutnya.

 

FIFA: Sepak Bola di Persimpangan Jalan

Pada akhirnya, cap “autokrat penindas para pemain” yang disematkan pada Gianni Infantino adalah cerminan dari sebuah krisis mendalam di tubuh sepak bola modern. Olahraga ini kini berada di persimpangan jalan, antara menjadi sebuah tontonan yang digerakkan oleh kepentingan komersial tanpa batas, atau kembali ke akarnya sebagai sebuah permainan yang menghargai kesehatan dan kesejahteraan para atletnya. Keputusan Infantino untuk terus menambah jumlah pertandingan mungkin akan membuat kas FIFA semakin gemuk, namun risikonya adalah membunuh “angsa petelur emas” itu sendiri secara perlahan-lahan. Pada akhirnya, tanpa pemain yang bugar dan fit, kualitas permainan akan menurun, dan  para penggemarlah yang paling akan dirugikan.

administrator

Related Articles

Leave a Reply